Setelah Belanda masuk ke Kalbar, perubahan besar terjadi. Jalan-jalan dibuka dari kota ke kota lain, dari Pontianak menuju Mempawah, Singkawang, dan Sambas. Penduduk setempat senang karena sabun mandi dan tepung susu dapat dibawa dari Belanda. Warga Tionghoa juga diberi nama "Hollan Jok" dan diajarkan membuat sabun batangan dan garam bata.
Pada abad ke-17, Sultan Mempawah mengundang pekerja tambang dari daratan Cina, termasuk Lang Fong, untuk mencari emas di Kalbar. Hasilnya sangat memuaskan, dan Sultan Mempawah sangat senang. Lang Fong diberi mandat untuk mengolah emas dan melakukan perdagangan, seperti sistem pemerintahan republik daerah Mandor.
Namun, kekuatan Lang Fong dihancurkan oleh Belanda, dan kongsi dagangnya dibubarkan. Setelah itu, masyarakat setempat membangun tugu peringatan di Mandor, yang masih ada hingga saat ini.
Pada masa Perang Dunia II, Jepang masuk ke Kalbar sekitar tahun 1943. Warga Tionghoa, guru, pedagang, dan orang-orang pintar dibunuh seperti binatang, termasuk penduduk lokal. Setelah kejadian tersebut, warga Tionghoa dan penduduk setempat berdiskusi untuk mencari solusi agar dapat lepas dari Jepang. Mereka memutuskan untuk memperjuangkan kemerdekaan.

Warga Tionghoa telah memiliki radio yang dapat menerima siaran dari Malaysia dan Singapura, serta bahasa Hakka dan Hokkien. Mereka mendengar bahwa Jepang telah dikalahkan dan berani melawan Jepang untuk mengusirnya. Pada Agustus 1945, sebagian penduduk belum merdeka, tetapi mereka tahu bahwa Jepang telah pergi.
Pada tahun 1940-1949, di daratan Cina, terjadi perang antara Partai Sosialis dan Komunis. Hal ini berdampak pada warga Tionghoa di Kalbar. Beberapa warga Tionghoa bergabung dengan Partai Komunis, sementara yang lain bergabung dengan Partai Sosialis.
Pada tahun 1959, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 10, yang memberikan kebebasan kepada warga Tionghoa untuk memilih menjadi WNI atau WNA. Jika mereka memilih menjadi WNA, mereka harus membayar pajak asing.
Pada tahun 1965, meletus peristiwa G30S/PKI, dan semua sekolah berbahasa Cina ditutup. Pada tahun 1967, terjadi tragedi berdarah di Kalbar, yang menyebabkan banyak nyawa melayang dan harta benda dirampas. Daerah yang terdampak meliputi desa Anjungan, Darit, dan Bengkayang.
Sebelum kejadian tersebut, warga keturunan Tionghoa dan lokal hidup harmonis dan melakukan perkawinan silang. Namun, kekuasaan politik Orde Baru memisahkan mereka dan melenyapkan Orde Lama. Strategi intelijen dan politik membuat orang lokal saling tidak mengenal.
Dahulu, warga Tionghoa di Kalbar bekerja sebagai petani. Setelah peristiwa tersebut, warga Kalbar kekurangan beras dan hasil kebun, sehingga terjadi krisis di Pontianak pada tahun 1967. Di kota Pontianak, tempat penampungan pengungsi, sekolahan, dan gudang tidak layak, sehingga banyak orang meninggal.
Kegiatan ekonomi lumpuh total, dan daratan terdampak menjadi zona merah. Setelah beberapa bulan, orang lokal dan suku Dayak merasa sedih karena saudara mereka telah diusir. Kegiatan ekonomi di desa lumpuh, dan orang-orang kesulitan membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari, bahkan ikan laut.
Karena korban politik orang-orang di atas, mereka menjadi tumbal. Sampai tahun 1980-an, tidak ada investor yang masuk ke Kalbar karena zona merah. Pada tahun 1960-an, sudah ada bioskop di Kalbar, tetapi sampai tahun 1980-an, daerah tersebut tidak mengalami kemajuan secara ekonomi.
Sejarah kita ditulis sesuai dengan rezim yang berkuasa, dan kesalahan serta kebenaran tidak diungkapkan secara benar. Oleh karena itu, kita harus mencari kebenaran dan memahami sejarah kita secara benar.
Dalam rangka memahami sejarah kita secara benar, kita harus mempelajari tentang perjuangan masyarakat Tionghoa di Kalbar dan bagaimana mereka berkontribusi dalam pembangunan ekonomi dan sosial di Kalbar.
Kita juga harus mempelajari tentang peran serta masyarakat Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan bagaimana mereka berjuang untuk memperoleh hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia.
Dengan mempelajari sejarah kita secara benar, kita dapat memahami dan menghargai keberagaman budaya yang ada di Kalbar, dan dapat memperkuat hubungan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat lokal. (Lingga)
