Jakarta, lensafokus.id – Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang tengah digodok pemerintah dan DPR mendapat sorotan kritis dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, SH, MH, Guru Besar Universitas Negeri Makassar sekaligus Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).
Menurutnya, meski RUU ini memiliki tujuan mulia untuk memberantas korupsi dan kejahatan luar biasa, sejumlah pasal yang tertuang di dalamnya dinilai berpotensi menimbulkan masalah baru jika tidak diperjelas.
“Hukum bisa lebih menakutkan daripada melindungi jika pasal-pasal yang multitafsir ini dipaksakan. Dampaknya bisa menurunkan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan negara,” tegas Prof. Harris dalam keterangannya, Selasa (16/9/2025).
Prof. Harris menyoroti lima pasal krusial yang berpotensi menimbulkan penyalahgunaan:
1. Pasal 2 – Negara bisa merampas aset tanpa menunggu putusan pidana. Hal ini berisiko menggeser asas praduga tak bersalah.
2. Pasal 3 – Aset dapat dirampas meskipun proses pidana terhadap orangnya masih berjalan, menimbulkan dualisme hukum.
3. Pasal 5 ayat (2) huruf a – Frasa “tidak seimbang” antara harta dan penghasilan dinilai terlalu subjektif.
4. Pasal 6 ayat (1) – Ambang batas Rp100 juta dikhawatirkan salah sasaran, menjerat rakyat kecil sementara penjahat bisa menyiasati.
5. Pasal 7 ayat (1) – Aset bisa dirampas meski tersangka meninggal atau dibebaskan, berpotensi merugikan ahli waris dan pihak ketiga yang beritikad baik.
“Seorang petani bisa dicurigai karena mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap, atau seorang buruh yang membeli rumah Rp150 juta bisa terjerat. Sementara penjahat bisa cerdik memecah aset di bawah nominal Rp100 juta,” jelasnya.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah aturan pembalikan beban pembuktian (reverse burden of proof). Dalam konsep RUU, setelah aset disita, rakyatlah yang harus membuktikan keabsahan harta.
“Ini berbahaya. Yang menuduh seharusnya yang membuktikan, bukan rakyat kecil yang tidak paham hukum. Kalau dibiarkan, rakyat bisa kehilangan aset karena lemah administrasi, sementara orang kaya bisa menyelamatkan aset dengan pengacara,” papar Prof. Harris.
Prof. Harris menyarankan agar pembahasan RUU ini benar-benar memperhatikan prinsip keadilan:
* Definisi jelas dan objektif untuk istilah “tidak seimbang”, misalnya mengacu laporan pajak atau data ekonomi.
* Perlindungan ahli waris dan pihak ketiga beritikad baik, agar tidak ikut dirugikan.
* Beban pembuktian tetap pada aparat penegak hukum, bukan masyarakat.
* Putusan pengadilan independen wajib menjadi syarat mutlak sebelum aset dirampas.
* Transparansi dan akuntabilitas publik, proses perampasan harus terbuka dan bisa diawasi media serta masyarakat.
* Bantuan hukum gratis bagi rakyat kecil yang terdampak.
Terakhir, Prof. Harris menegaskan pentingnya literasi hukum kepada masyarakat.
“RUU ini ibarat pedang bermata dua. Jika tidak hati-hati, rakyat kecil bisa dikriminalisasi hanya karena lemah administrasi. Sebaliknya, orang kaya bisa dengan mudah melindungi aset mereka. Karena itu, sosialisasi hukum harus masif agar rakyat tahu hak-haknya,” pungkasnya. (Cecep)




