
TANGERANG, lensafokus.id – Anggaran Pokok Pikiran (Pokir) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tangerang kembali menjadi sorotan tajam elemen masyarakat. Dana yang seharusnya menjadi jembatan aspirasi rakyat dan membawa manfaat nyata, justru dinilai tidak efektif dan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi serta kelompok tertentu.
Pemerhati sosial Kabupaten Tangerang, Dedi Kurniadi, dengan tegas menyatakan bahwa Pokir tidak memberikan manfaat berarti bagi masyarakat. "Pokir yang surplusnya harus dirasakan oleh masyarakat malah untuk mereka yang mengatasnamakan rakyat," ujar Dedi.
Ia menyoroti praktik realisasi dana Pokir di lapangan yang kerap digunakan untuk kegiatan dengan pertanggungjawaban yang tidak jelas, seperti pembangunan jalan perumahan yang sebenarnya masih layak atau infrastruktur yang sudah menjadi tanggung jawab Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lain. "Sekarang masyarakat butuh apa? Butuh kesejahteraan bukan mengenyangkan perut wakil rakyat," keluh Dedi.
Dedi menjelaskan bahwa dana Pokir, yang sebelumnya dikenal sebagai dana pokok aspirasi, seharusnya menghimpun aspirasi masyarakat dalam bentuk kegiatan yang dianggarkan oleh pemerintah daerah melalui legislatif. Namun, dalam dua dekade terakhir, Pokir disorot karena disalahgunakan oleh sebagian anggota legislatif untuk memperkaya diri.
Mereka cenderung memberdayakan kegiatan tersebut hanya pada wilayah konektivitas mereka, seperti "ampibi" (anak, menantu, mertua, ipar, bini) atau kader-kader yang dianggap "mesin pencetak uang" untuk mempertahankan hegemoni sosial di konstituen mereka.
Dana Pokir yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ini, merupakan pajak yang seharusnya dikembalikan kepada rakyat yang lebih membutuhkan, seperti penanganan ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, masalah sampah, dan sempitnya lapangan pekerjaan.
Dedi menganggap anggaran Pokir di Kabupaten Tangerang adalah yang terbesar se-Indonesia, mencapai sekitar Rp 350 miliar per tahun untuk 50 anggota dewan. Ini berarti setiap anggota dewan rata-rata mendapatkan Rp 7 miliar, bahkan pimpinan bisa lebih dari itu.
"Uang itu uang rakyat yang sudah dihimpun oleh Bappenda yang harusnya dikembalikan kepada masyarakat secara utuh. Banyak kepentingan masyarakat lain yang bisa digunakan anggarannya dengan menggunakan uang tersebut, tidak hanya untuk kepentingan kelompok atau golongan," jelas Dedi.
Dedi berharap agar Pokir segera dihentikan dan dananya dialihkan langsung kepada bantuan untuk masyarakat, khususnya dalam hal pangan. "Bayangkan dana Pokir untuk BLT masyarakat miskin, bantuan pangan, anggaran untuk seratus ribu rumah. Anggap satu rumah kebagian satu karung yang berisi 50 kg beras yang bisa mencukupi kebutuhan pangan dalam satu atau dua bulan pada satu keluarga," usul Dedi.
Ia menghitung, dengan Rp 350 miliar, ribuan keluarga tidak mampu bisa tertolong untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka, daripada dana tersebut masuk ke kantong oknum yang mengatasnamakan rakyat dan kroninya.
"Mereka sudah ada gaji, fasilitas, dan sebagainya. Jika mereka mengatakan saya menjadi anggota dewan juga pakai biaya, itu adalah sebuah risiko karena mereka niat untuk mengabdi dan melayani masyarakat. Jangan menuntut ganti rugi jika menuntut maka jadilah pengusaha atau pedagang jangan menjadi dewan," pungkasnya.
Di tempat terpisah, Moh Jembar, aktivis senior Kabupaten Tangerang, juga berpendapat senada. Menurutnya, Pokir adalah tentang pokok pikiran aspirasi masyarakat kepada dewan, baik masyarakat maupun konstituennya. Namun, selama ini Pokir dilaksanakan dalam bentuk pekerjaan dengan nilai fantastis, di mana satu dewan bisa mengelola 50 proyek dengan anggaran yang diajukan masing-masing.
"Bagi aspirasi sah-sah saja pokok pikiran tapi bukan untuk memperkaya diri pada legislatif tapi punya tanggung jawab moral walaupun beliau sebagai wakil rakyat tapi yang punya kewenangan yaitu pemerintah daerah yang mengatur tentang budgeting kegiatan," tegas Jembar.
Ia mempertanyakan keberadaan Bappeda, dinas, dan kecamatan jika proyek-proyek tersebut justru dikelola oleh DPRD dan dijadikan proyek semata-mata untuk anggota dewan.
Jembar menambahkan bahwa meskipun kegiatannya ada, pelaksanaannya tidak maksimal dan kualitasnya jauh dari harapan. "Dengan adanya Pokir ini seharusnya bisa dimanfaatkan untuk stunting, kemiskinan dan pengangguran ekstrem bukan kegiatan fisik yang merupakan urusan Pemda, urusan camat jangan hanya mencari keuntungan pribadi," tandas Jembar.
Melihat kondisi ini, sejumlah aktivis di Kabupaten Tangerang, baik senior maupun yang baru berkembang, bertekad untuk bersatu dan segera melaporkan dugaan penyalahgunaan dana Pokir ini ke Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka menganggap praktik ini sebagai "kebiasaan buruk korupsi korporasi" yang telah dilakukan selama dua dekade, semenjak dewan terdahulu hingga sekarang, sehingga menjadi "dinasti style" kebiasaan yang dianggap biasa.
Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, wartawan Lensa Fokus belum berhasil menemui Ketua DPRD Kabupaten Tangerang maupun anggota dewan lainnya pada Kamis (12/06/25). Mereka tidak berada di tempat dan tidak bisa ditemui. (Rm)