Seminar Nasional Menggugat Independensi Peradilan di Era Demokrasi

Bogor, lensafokus.id -- Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof Gayus Lumbuun menantang Menkopolhukam untuk melakukan evaluasi besar-besaran terhadap hakim-hakim mulai di tingkat Mahkamah Agung (MA) hingga tingkat Pengadilan Negeri (PN).

"Saya meminta agar melalui Mahkamah Agung ke bawah ini dirombak hakim-hakimnya, saya bicara ini bukan hanya sekarang," ungkapnya saat menjadi narasumber Seminar Nasional bertajuk "Menggugat Independensi Peradilan di Era Demokrasi" yang berlangsung di Universitas Pakuan, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin.

Prof Gayus yang merupakan mantan Hakim Agung mengaku pernah mengusulkan ide tersebut kepada Menkopolhukam, Mahfud MD sebelum menjadi pejabat publik. Saat itu, menurutnya Mahfud sepakat dengan usulan tersebut.

"Saya mengatakan hakim ini harus dievaluasi. Hakim Agung ada 10 orang, PT (Pengadilan Tinggi) itu ada sekitar 70 orang (hakim), PN ada sekitar 600-an (hakim). Itu dipilih, yang baik dipertahankan yang jelek diganti," tuturnya.

Kini, ia pun mempertanyakan usulan yang pernah disepakati oleh Mahfud, untuk melakukan reformasi hukum seperti yang diperintahkan oleh Presiden Joko Widodo alias Jokowi.

"Lalu saya bertanya, dulu beliau (Mahfud MD) sepaham dengan saya, sekarang di pemerintahan, tolong disampaikan apakah beliau berubah atau tidak? Apakah saya juga dilibatkan dalam memberikan masukan seperti saat beliau setuju waktu itu?" tanya Prof Gayus.

Menurutnya, hukum identik dengan peradilan. Sehingga, untuk melakukan reformasi hukum perlu upaya menjunjung tinggi keadilan yang adil di pengadilan.

Senada, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Dr Asmak Ul Hosnah SH MH mendorong agar seleksi hakim dilakukan dengan sangat ketat. Sehingga, melahirkan hakim-hakim yang kompeten dan berintegritas.

"Seleksi hakim harus begitu ketatnya, karena berkaitan dengan moralitas. Karena bagaimana pun, hukumnya bagus, masyarakatnya bagus, kalau penegak hukumnya tidak bagus tidak akan berjalan juga," ujarnya.

Menurutnya, seminar itu sengaja digelar untuk mencari jalan keluar atas independensi peradilan yang belakangan banyak dibicarakan masyarakat. Khususnya mengenai putusan-putusan pengadilan yang dianggap tidak adil.

"Agar masyarakat yang menginginkan keadilan dari proses tersebut bisa mendapatkan keadilan yang diharapkan. Bukan mendapat kekecewaan ketidakindependenan dari hakim yang memutus perkara itu," kata Dr Asmak.

Salah satu putusan pengadilan yang dikeluhkan, yaitu vonis bersalah Bupati Bogor nonaktif Ade Yasin di perkara suap auditor BPK. Putusan tersebut dinilai tim kuasa hukum mengabaikan fakta-fakta persidangan.

Dr Asmak menilai, tidak menutup kemungkinan hakim mengesampingkan fakta persidangan, jika adanya faktor pengaruh dari luar.

"Kalau ada pengaruh dari luar, kemungkinan besar dia akan mengesampingkan fakta persidangan. Itu sudah suatu pelanggaran hukum, pelanggaran etika. itu dibungkus dengan hukum juga, sehingga sangat sulit untuk membuktikan itu, seolah-oleh itu produk hukum," papar Dr Asmak.

Sementara, Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI), Dr Tjotjoe Sandjaja Hernanto menyebutukan bahwa peradilan merupakan proses yang lebih penting dari putusan hakim. Sehingga, segala yang terungkap dalam persidangan seharusnya tidak dikesampingkan.

"Kalau terbukti putusan itu mengandung kejahatan seperti menyembunyikan barang bukti, mengesampingkan menyimpan keterangan terdakwa, keterangan saksi yang harusnya dibuka tidak dibuka, menurut saya kriminal itu," kata Dr Tjotjoe.

Ia juga mengusulkan agar pemerintah membentuk lembaga eksaminasi untuk mengedepankan independensi peradilan.

Eksaminasi merupakan kegiatan pembinaan dan pengawasan tidak langsung yang dilakukan oleh pimpinan Pengadilan tingkat pertama serta Pimpinan Pengadilan Tinggi Agama dan Hakim Tinggi dalam kapasitasnya sebagai Hakim Tinggi Pembina dan Pengawas Daerah.

Seminar Nasional ini dibuka oleh Rektor Universitas Pakuan, Prof Didik Notosudjono dan dimoderatori oleh Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Raden Muhammad Mihradi SH MH. Kemudian dihadiri secara virtual oleh Komisioner Komisi Yudisial, Sukma Violetta SH LL M.

(Billy Adhiyaksa)

Rate this item
(0 votes)
Go to top