SOAL JILBAB MERATA-RATA AGAR TAFSIR ATURAN SERAGAM SEKOLAH TEPAT HIRARKIS DAN "RANCAK"

Foto : Dr. Usmar. S.E., M.M. Ketum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) / Kepala LPPM Universitas Moestopo, Jakarta      Foto : Dr. Usmar. S.E., M.M. Ketum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) / Kepala LPPM Universitas Moestopo, Jakarta

PEMBERITAAN tentang siswi non muslim bernama Jeni Cahyani Hia di SMK Negeri 2 Padang, Sumbar, yang diwajibkan mengenakan jilbab oleh pihak sekolahnya menjadi pembicaraan hangat di seantero negeri mayoritas Muslim ini.

Bermula dari tambah dialog orang tua (ortu)-nya dengan pihak sekolah yang diunggah di facebook (FB) si ortu. Kemudian, viral kemana-mana melalui media sosial (medsos) lainnya.

Beragam tanggapan yang muncul, menyikapi persoalan ini. Dari yang mengatakan bahwa sangat tidak elok dilakukan di dunia pendidikan, sampai yang menganggap hal itu cuma kekeliruan pelaksanaan dari sebuah kebijakan.

Di tingkat nasional, hal itu mengundang respon beragam beberapa tokoh. Kemudian pada 3 Februari 2021 lahir Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Kementerian, yaitu Kemendikbud, Kemendagri, dan Kemenag.

Latar Belakang Peristiwa
PENERAPAN kebijakan tentang pakaian seragam sekolah khususnya di Kota Padang, telah berlangsung relatif lama, yaitu sejak dikeluarkannya Instruksi Wali Kota Padang No. 451.442/BINSOS-iii/2005. Saat itu yang menjadi Wali Kota dijabat oleh Letkol (Purn.) Dr. H. Fauzi Bahar M.Si. Fauzi menjadi Wali Kota padang periode 2004-2009, 2009-2014.

Secara niat awal, keputusan ini hanya bersifat himbauan, bahwa untuk siswa yang beragama muslim diwajibkan untuk menggunakan Jilbab, dan bagi yang non-muslim tidak diwajibkan, melainkan hanya dianjurkan.

Akan tetapi, dalam realisasinya saat diimplementasikan justru di terjemahkan oleh orang-orang pelaksana lapangan di sekolah sebagai hak wajib.

Pihak sekolah menetapkan hal itu kewajiban buat semua yang bersekolah di kota tersebut. Apalagi, setelah yang tadinya hanya himbauan Walikota lalu di formalkan menjadi Instruksi Wali Kota.

Secara nasional persoalan ketentuan seragam sekolah, sudah beberapa kali mengalami berbagai aturan yang juga tidak sepi dari polemik.

Setidaknya ada empat keputusan setingkat mentri yang mengatur tetang hal tersebut, yaitu: 

* Di era Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan RI Daoed Joesoef menerbitkan Surat Keputusan Nomor 052/C/Kep/D.82 tentang Pedoman Pakaian Sekolah.

* Di era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Mohamad Nuh, mengeluarkan Permendikbud 45/2014 tertanggal 9 Juni 2014 tentang seragam sekolah.

* SKB tiga Menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri Dan Menteri Agama Republik Indonesia, tertanggal 3 Februari 2021.

Respon Cepat yang Kurang Tepat

MENYIKAPI polemik yang terjadi di masyarakat tentang ketentuan seragam sekolah, tiga kementerian merespon cepat.

Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan dengan SK Nomor 02/KB/2021, Menteri Dalam Negeri dengan SK Nomor 025-199 Tahun 2021, dan Menteri Agama dengan SK Nomor 219 Tahun 2021, yang kemudian berkolaborasi menjadi Keputusan Bersama.

Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri ini Mengatur tentang Penggunaan seragam dan atribut peserta didik, Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah diselenggarakan pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Dari sisi respon terhadap persoalan dimasyarakat, ini sebuh respon yang cepat, hanya sekitar dua minggu, keluarlah keputusan bersama ini. Tetapi jika dilihat dari sisi hirarki perundangan yang berlaku di Indonesia SKB 3 mentri ini, kurang tepat.

Perlu kita ketahui bahwa posisi Keputusan Menteri, masih berada di bawah level Peraturan Daerah, sehingga terjadi kejanggalan ketika sebuah peraturan dibawah mencoba mengoreksi level peraturan di atasnya.

Jika mengacu Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi,

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :

-Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

-Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

-Peraturan Pemerintah;

-Peraturan Presiden;

-Peraturan Daerah Provinsi; dan

-Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Selain itu sejak era reformasi, otonomi pendidikan tahun 2000 sudah diberlakukan seiring dengan diundangkannya UU Nomor:22 tahun 1999 dan UU Nomor:32 tahun 2004, sehingga daerah memiliki kewenangan luas dan mendalam untuk mengelola pendidikannya, mulai dari pendidikan pra sekolah sampai pendidikan menengah.

Untuk itu jika ingin keputusan Cepat ini sekaligus juga tepat, baik dari sisi hirarki perundangan yang berlaku di Indonesia saat ini, juga sekaligus sebagai instrumen untuk menepikan PERDA yang cenderung kontra produktif dalam memperkuat konsepsi kebangsaan dalam format NKRI. Maka, SKB ini sebaiknya di tingkatkan hingga minimal menjadi Peraturan Presiden (Perpres).

Tafsir Tunggal Seragam Sekolah

PENERAPAN pakaian seragam sekolah selama ini, yang diberlakukan untuk anak tingkat SD dan Menengah, dengan perbedaan dari sisi warna pakaian sudah sangat baik dari perspektif makna dan filosofis.

Seperti kita ketahui bersama, Seragam Putih-Merah untuk anak SD melambangkan hasrat dan energi. Warna ini diharapkan bisa mendorong hasrat anak untuk terus sekolah dan juga bisa meneruskan ke jenjang pendidikan berikutnya.

Seragam untuk anak SMP berwarna Biru Tua yang melambangkan komunikasi dan percaya diri. Seragam untuk anak SMA berwarna Putih-Abu-abu yang dimaknai Dewasa dan Tenang agar dapat konsentrasi dalam belajar.

Nah, berdasarkan penerapan perbedaan warna seragam sekolah bagi anak sekolah tingkat Dasar dan Menengah yang sudah sangat familiar di Indonesia, maka ini akan jauh lebih baik dan efektif dalam menegakkan konsepsi kebangsaan sekaligus meneguhkan filosofis yang dapat dimaknai dari warna seragam sekolah tersebut.

Hanya jika ingin memberi keleluasaan dalam mengekspresikan unsur keyakinan yang dimiliki perorangan, dapat ditambahkan sesuai dengan keinginan individu siswa yang bersangkutan, tapi tetap dengan ketentuan standar untuk Kemeja, Rok, dan Celana bagi setiap pelajar.

Pilihan lainnya adalah, menerapkan satu hari dalam satu minggu, setiap sekolah atau setiap siswa boleh berpakaian bebas dalam artian tetap sesuai aturan kesopanan dan kebersamaan sosial yang telah ditentukan, sekaligus untuk menghormati dan mengingatkan tentang keberagaman adalah sebuah sumber kekayaan identitas bangsa.

TERHADAP peraturan dan ketentuan ini, idealnya tidak hanya berlaku untuk sekolah negeri saja, tapi seluruh sekolah tingkat Dasar dan Menengah di seluruh pelosok negeri.

Jika ada sekolah yang berkeberatan dengan alasan mengekspresikan identitas lokal, identitas sekolah maupun alasan identitas unsur keyakinan, bukankah sudah disediakan waktu satu hari dalam satu minggu atau 48 (empat puluh delapan) hari dalam satu tahun untuk mengekspresikan ke khususan tersebut.

Dengan aturan dan ketentuan seperti ini, penulis yakin, tidak akan muncul lagi multi tafsir terhadap pakaian seragam sekolah untuk anak didik tingkat Dasar dan Menengah di Indonesia.

Dengan tafsir tunggal tentang seragam sekolah anak tingkat Dasar dan Menengah, kita semua dapat mendorong dan mendukung dunia pendidikan fokus dalam kemajuan dan perkembangan pengetahuan dan teknologi, tidak lagi diributkan oleh persoalan atribut tampilan di era generasi yang sudah masuk dalam gelombang revolusi industri 4.0 dan Society 5.0.

Penulis adalah : Kepala Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat, Universitas Prof.Dr.Moestopo (Beragama), Jakarta. Juga Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). **

Rate this item
(0 votes)
Go to top